twitter


Periode Awal sampai Taruma Nagara 

Konon 
menurut wangsakerta, kerajaan pertama di tanah jawa adalah Salaka 
Nagara atau Rajatapura (Negeri Perak) dengan pendiri Aki Tirem (=Argyre 
: Ptolemy). Letaknya di teluk lada Pandeglang sekarang sekitar tahun 
150 M. Pemerintahan Salaka Nagara dipimpin oleh raja-raja dengan gelar 
Dewawarman. Tercatat bahwa gelar Dewawarman diturunkan selama 8 
generasi (Dewawarman I - VIII). Diperkirakan kejayaannya hanya sampai 
tahun 362 M. Selanjutnya penguasaan wilayah Jawa (bag Barat) 
dilanjutkan oleh Taruma Nagara dan Salaka Nagara pun menjadi kerajaan 
kecil. 

Kerajaan Taruma Nagara tercatat dimulai sejak tahun 358 M 
dengan raja pertama bernama Jayasingawarman. Jayasingawarman berasal 
dari negeri Salankayana di India. Ia melarikan diri dari negerinya yang 
diserang oleh raja Samudragupta dari kerajaan Magada. Dia juga 
merupakan menantu Dewawarman VIII. 

Pada pemerintahan raja Taruma 
Nagara yang ke-3, cucu Jayasingawarman yaitu Purnawarman (395 – 434), 
ibukota kerajaan dipindah ke kota baru dengan nama Sundapura (Kota 
Suci) disekitar muara Ciaruteun. Inilah catatan sejarah pertama 
mengenai awal digunakannya kata Sunda. Beliau juga memerintahkan 
penggalian Sungai Gomati dan Chandrabaga (Bhagasasi/Bekasi) sepanjang 
6.114 tumbak (11 km). 

Selanjutnya, pada masa Suryawarman (535 - 
561 M) yang merupakan cucu Purnawarman, kekuasaan Taruma dilebarkan ke 
arah timur. Untuk itu dalam tahun 526 M, Manikmaya, menantu Suryawarman 
dari Tirta Kancana, diberikan kekuasaan untuk mendirikan kerajaan baru 
di Kendan, sekarang terletak di daerah Nagreg (terletak antara Bandung 
dan Garut). Yang pada masa selanjutnya, cicit Manikmaya yang bernama 
Wretikandayun (612) memindahkan ibukota Kendan ke kota baru yang diberi 
nama Galuh (=Permata). Kota tersebut diapit 2 sungai yaitu Citanduy dan 
Cimuntur. Kota tersebut sekarang bernama Desa Karang Kamulyan di Ciamis. 

Cerita 
terus berlanjut dan raja-raja terus silih berganti sampai dengan raja 
terakhir Taruma Nagara yaitu Linggawarman. Ia merupakan raja yang ke-12 
Taruma yang memerintah sekitar tahun 669 M. Dalam masa penguasaan 
Taruma telah terdapat 48 kerajaan bawahan diantaranya adalah Salaka 
Nagara, Galuh, Kendan serta Sunda Sambawa. Dikarenakan tidak memiliki 
anak laki-laki maka kekuasaan Linggawarman turun kepada menantu 
pertamanya Tarusbawa. 
Sebenarnya dia mempunyai 2 anak perempuan yang 
bernama Manasih dan Sobakancana. Manasih menikah dengan Tarusbawa 
pewaris kerajaan Sunda Sambawa dan Sobakancana menikah dengan 
Dapuntahyang Sri Jayanasa pendiri kerajaan Sriwijaya. 

Pada masa 
pemerintahan Tarusbawa, terjadi perselisihan antara 2 menantu 
Lingawarman. Akibat perselisihan ini Jayanasa/Sriwijaya menyerang 
Tarusbawa/Taruma (wangsakerta). Akibat serangan itu Taruma melemah, 
sehingga Tarusbawa kembali ke kerajaan asalnya Sunda Sambawa dengan 
membawa kekuasaan Taruma. Selanjutnya Taruma Nagara dia ubah namanya 
menjadi Kerajaan Sunda. Sehingga dengan demikian dapat dikatakan bahwa 
raja Sunda pertama (sebagai kerajaan besar) adalah Tarusbawa. 

Penggantian 
nama Taruma menjadi Sunda dijadikan momen oleh Galuh/Wretikandayun 
untuk menyatakan lepas dari Sunda/Taruma (670). Dengan alasan merasa 
sederajat dengan kerajaan Sunda (sama-sama kerajaan bawahan Taruma). 
Wretikandayun (cicit Manikmaya) mengklaim wilayah kekuasaan Taruma 
sebelah Timur dari Kali Cipamali sampai kali Citarum. Saat itu 
Wretikandayun sudah berumur 78 tahun. Sehingga dia sudah mengenal betul 
kondisi 
politik Taruma. Klaim Galuh tersebut berlangsung mulus, karena 
Tarusbawa menghindari terjadinya peperangan. Bahkan saat itu Tarusbawa 
merupakan sahabat dari Bratasena anak dari Wretikandayun. Sehingga 
itulah akhir dari cerita Taruma Nagara yang melemah dan menjadi 2 
kerajaan dengan sungai citarum sebagai batas. 

  

Masa Keemasan Galuh 

Setelah 
lepasnya Galuh dari Sunda, Tarusbawa masih berkuasa. Tarusbawa 
merupakan raja yang panjang umur dan berkuasa lama, diperkirakan 
berkuasa dari 669-723 M. Dia digantikan oleh cucu menantunya yang 
bernama Rakeyan Jamri atau lebih dikenal dengan Prabu Sanjaya 
Harisdharma. Adapun sang putera mahkota (anak Tarusbawa) meninggal 
sebelum dinobatkan, menyebabkan Tarusbawa digantikan oleh cucu 
perempuannya yang bernama Tejakancana yang bersuamikan Sanjaya ini. 
Sanjaya sendiri merupakan anak Sanaha adik perempuan dari Bratasena 
raja Galuh saat itu. 

Sementara itu di Galuh, diceritakan bahwa 
Wretikandayun yang bergelar Maharaja Suradharma Jayaprakosa setidaknya 
memiliki 3 anak dari Pohaci Bunga Mangle (Manawati/Candrarasmi) yaitu : 
Sempakwaja 
(Jatmika), Jantaka dan Mandiminyak (Amara). Diantara anaknya yang 
menggantikan dirinya adalah anak bungsunya yang bernama Mandiminyak. 
Dikarenakan anak tertuanya bernama Sempakwaja dan anak keduanya Jantaka 
dianggap cacat jasmani. 

Selanjutnya Mandiminyak digantikan oleh 
anaknya dari Rababu yang bernama Bratasena (Sena). Sebenarnya 
permaisuri Mandiminyak adalah Dewi Parwati yang menurunkan putri 
Sanaha. Dewi Parwati adalah anak dari maharani Shima dari kerajaan 
Kalingga (sebelum Mataram Kuno). Namun kekuasaan Sena tak berlangsung 
lama, ia digulingkan oleh sepupunya, anak dari Sempakwaja yang bernama 
Purbasora. Purbasora saat itu dibantu oleh raja Indraprahasta dari 
sekitar daerah Cirebon. Hal ini menyebabkan Sena lari ke Kalingga. 

Sanjaya 
yang merupakan keponakan Bratasena, melakukan serangan balas dendam ke 
Purbasora. Serangan ini dia lakukan setelah ia dinobatkan menjadi raja 
Sunda (723-732 M) Hal ini mengakibatkan keluarga Purbasora dimusnahkan. 
Sedangkan panglima perangnya yang bernama senopati Bimaraksa (Aki 
Balangantrang) berhasil melarikan diri ke daerah Geger Sunten. 
Bimaraksa merupakan anak dari Jantaka (anak kedua Wretikandayun). 
Dengan Serangan balas dendam ini, Galuh pun dikuasai oleh Sanjaya. 

Sanjaya 
tak lama berkuasa di Galuh, untuk menciptakan ketentraman di Galuh, 
selanjutnya kekuasaan Galuh ia serahkan kepada Permana Dikusuma. 
Permana merupakan cucu dari Pubasora. Namun sebelumnya, Permana oleh 
Sanjaya dijodohkan dengan Dewi Pangrenyep anak dari Anggada (Patih 
Sunda). Dia juga mengangkat anaknya Tamperan sebagai kepala pasukan 
Galuh. Untuk Demunawan adik Purbasora (anak Sempakwaja dan Wulansari), 
dia memberikan kekuasaan atas Kuningan dan Galunggung. 

Tahun 732 
M, Sanjaya juga mewarisi Mataram/Kalingga dari ayahnya yang 
mengakibatkan ia melepaskan tahta kekuasaan di Sunda kepada anaknya 
Tamperan. Untuk itu Tamperan yang dikenal juga sebagai Rakai Panaraban 
(saat itu panglima di Galuh) dia panggil pulang dari Galuh ke Sunda 
untuk diserahi tahta Sunda. Sehingga saat itu sebenarnya kekuasaan 
Sanjaya meliputi Kerajan Sunda, Kerajaan Galuh serta kerajaan (Bhumi) 
Mataram (Kalingga Utara). 

Sebelum dijodohkan dengan Pangrenyep, 
Permana sudah memiliki anak dari Naganingrum (anak dari Bimaraksa) yang 
bernama Surotama atau Manarah atau lebih dikenal dengan Ciung Wanara. 
Sedangkan selanjutnya dari Pangrenyep, ia memiliki anak bernama 
Kamarasa atau (Hariang/Arya) Banga. Banga sendiri diyakini sebagai anak 
hasil hubungan gelap antara Tamperan dan Pangrenyep. Sehingga saat 
Permana Dikusuma wafat (konon dibunuh atas perintah Tamperan) yang 
diangkat menjadi raja Galuh adalah Banga. Ia diberi gelar Prabu 
Kretabuwana Yasawiguna Aji Mulya. 

Saat diadakan pesta sabung 
ayam di Galuh yang dihadiri juga oleh Tamperan yang saat itu sudah 
menjadi raja Sunda, Manarah melakukan kudeta terhadap Banga. Kudeta ini 
dilakukan dengan sokongan dari Bimaraksa dan bantuan Indraprahasta 
serta Kuningan. Dalam serangan ini Tamperan dan Pengrenyep tewas. 
Sehingga Sanjaya/Mataram mengirimkan pasukan untuk membalas dendam 
sekaligus membantu Banga. Peperangan pun akhirnya berubah menjadi 
peperangan yang besar. 

Dalam peperangan tersebut, Harya Banga 
terdesak. Perang besar tersebut Akhirnya didamaikan oleh Demunawan yang 
saat itu sudah menjadi Resi. Dalam perdamaian itu Sunda Galuh kembali 
menjadi terpisah. Sunda diberikan kepada Banga dan Galuh diberikan 
kepada Manarah. Selanjutnya untuk memperkuat perdamaian, Manarah dan 
Banga dijodohkan dengan cicit Demunawan. Manarah dengan Kancanawangi 
dan Banga dengan Kancanasari adik dari Kencana Wangi. 

Sang 
Manarah setelah menjadi raja mendapat gelar Prabu Jayaprakasa 
Mandaleswara Salakabuwana. Manarah memiliki 7 anak, namun kesemuanya 
perempuan. Tahta akhirnya turun ke anak perempuannya yang ke-7 yang 
bernama Purbasari yang bersuamikan Guruminda Sang Ministri. Kisah ratu 
Purbasari lebih dikenal di masyarakat dengan cerita pantun Lutung 
Kasarung. Namun selain cerita pantun tersebut, tidak ada catatan lain 
yang lebih lanjut untuk menjelaskan keadaan pemerintahannya pada waktu 
itu. 

Keturunan Manarah putus hanya sampai cicit dari Purbasari 
yang bernama Prabulinggabumi (813 - 852). Tahta Galuh diserahkan kepada 
suami adiknya yaitu Rakeyan Wuwus alias Prabu Gajah Kulon (819 - 891). 
Sedangkan rakeyan Wuwus merupakan cicit dari Harya Banga yang menjadi 
Raja Sunda ke-8 (dihitung dari Tarusbawa). Sejak tahun 852, Galuh dan 
Sunda kembali bersatu dibawah kekuasaan Rakeyan Wuwus dan selanjutnya 
disebut jaman Sunda Galuh. 
  

Masa Sunda Galuh sampai Sunda Pajajaran 

Sunda 
Galuh terus bertahan dalam perjalanan waktu, hingga pada suatu masa 
dalam kepemimpinan Prabu Detya Maharaja Sri Jayabupati (1030-1042) raja 
Sunda ke-20, terjadi kejadian yang disebut Pralaya. Pralaya adalah 
penyerangan besar besaran Wurawuri/Sriwijaya terhadap kerajaan Medang. 
Peristiwa ini menjadi istimewa karena Ia beribu seorang puteri 
Sriwijaya saudara dari Raja Wurawuri. Adapun istri Sri Jayabupati 
adalah puteri dari Dharmawangsa, raja Kerajaan Medang, dan juga 
merupakan adik Dewi Laksmi isteri Airlangga. 

Penerus Sri 
Jayabupati yang ke-5 adalah Prabu Dharmasiksa. Seyogyanya Prabu 
Dharmasiksa akan digantikan oleh Rakeyan Jayadarma. Jayadarma adalah 
suami Singamurti (Dyah Lembu Tal) yang merupakan anak Mahisa Campaka 
yang berarti cicit dari Ken Arok. Mereka memiliki anak yang bernama 
Sang Nararya Sanggrama Wijaya (Raden Wijaya). Namun sang putera mahkota 
Jaya Dharma meninggal sebelum dinobatkan. Akibat meninggalnya Jaya 
Dharma, Singamurti kembali ke negerinya bersama Raden Wijaya. Di 
negerinya setelah dewasa, Raden Wijaya mendirikan kerajaan Majapahit. 

Kedudukan 
putera mahkota Jayadarma akhirnya digantikan oleh adiknya yang bernama 
Ragasuci (1297-1303). Ragasuci merupakan suami dari Dara Puspa puteri 
Kerajaan Melayu (Jambi) adik dari Dara Kencana istri Kertanegara, 
penguasa Singasari. Dan akhirnya Ragasuci dinobatkan menjadi raja 
kerajaan Sunda. 

Selanjutnya keturunan ke-5 Ragasuci adalah Prabu 
Linggabuana (1350-1357). Prabu Linggabuana adalah raja Sunda yang tewas 
dalam perang Bubat. Sebagai penghargaan atas keberaniannya melawan 
Majapahit saat itu, Linggabuana diberi gelar Prabu Wangi. Kedudukan 
Linggabuana digantikan sementara oleh adiknya Bunisora selaku Pemangku 
Jabatan. Hal ini dikarenakan anak Linggabuana (Niskalawastukancana) 
waktu itu belum dewasa. Setelah dewasa maka Niskalawastu dinobatkan 
menjadi raja Sunda. Diperkirakan sejak saat Prabu Niskalawastu gelar 
Siliwangi muncul. Silih wangi berarti pengganti Prabu Wangi selanjutnya 
raja-raja penggantinya juga disebut sebagai Siliwangi. 

Niskalawastu 
mempunyai anak dari Lara Sakarti yang bernama Susuktunggal dan dari 
Mayangsari bernama Dewaniskala. Kedua anaknya masing-masing diwarisi 
bagian kerajaan. Akibat pembagian waris tersebut Sunda kembali menjadi 
dua kerajaan. Bekas kerajaan Sunda di berikan kepada Susuktunggal, 
sedangkan bekas kerajaan Galuh diberikan kepada Dewa Niskala. 

Dewa 
Niskala memiliki anak yang bernama Jaya Dewata (=Sri Baduga Maharaja). 
Jaya Dewata dinikahkan dengan Kentring Manik Mayang Sunda anak dari 
Susuktunggal. Saat Jayadewata mewarisi Galuh (1482-1521), Susuktunggal 
pun memberikan tahtanya kepada menantunya tersebut sehingga Sunda Galuh 
kembali menyatu. Beliau memindahkan ibukota dari kawali (Galuh) ke 
Pakuan. Dimasa Jaya Dewata inilah Sunda lebih dikenal dengan sebutan 
Pajajaran. Sebutan Pajajaran sendiri merupakan kependekan dari Pakuan 
Pajajaran. Pakuan Pajajaran kurang lebih berarti Istana(=Pakwwan) yang 
berjajar. Ini gambaran dari keadaan ibukota yang terdiri dari banyak 
istana yang rapi berjajar. Sehingga kerajaan tersebut dinamai Pakuan 
Pajajaran dengan lebih singkatnya Pajajaran. 

Selain dengan 
Kentring Manik Mayang Sunda, Jaya Dewata pun menikah dengan Ambetkasih 
puteri Ki Gedeng Sindang Kasih juga dengan Subanglarang puteri Ki 
Gendeng Tapa raja Singapura (daerah sekitar Cirebon). Subanglarang 
adalah murid dari Pondok Pesantren Quro pimpinan Syekh Hasanuddin di 
Karawang. Dari Subanglarang ini Jaya Dewata memiliki anak yang bernama 
Kian/Rakean Santang/Walangsungsang/Pangeran Cakrabuana, Rara Santang 
dan raja Sangara (Haji Mansyur). Rara Santang kemudian memiliki anak 
yang bernama Syarif Hidayatullah yang lebih dikenal dengan Sunan Gunung 
Jati. 

Penerus tahta Jaya Dewata adalah Surawisesa anak dari 
Kentring Manik Mayang Sunda. Sedangkan Kian Santang diberikan kekuasaan 
untuk mengkontrol pelabuhan Cerbon menggantikan kakeknya Ki Gendeng 
Tapa. Selanjutnya Cerbon berkembang dari asalnya kerajaan bawahan 
menjadi sebuah kesultanan setelah mendapat dukungan Demak. Kekuasaan 
Kian Santang turun kepada menantu sekaligus keponakannya anak dari Rara 
Santang yang bernama Syarif Hidayatullah. Dalam masa kepemimpinan 
Syarif Hidayatullah, Cirebon menyatakan melepaskan diri dari Pajajaran. 
Pernyataan ini ditandai dengan tidak lagi melakukan pengiriman upeti ke 
Pajajaran. 

Pada masa pemerintahan Surawisesa (1521 – 1535) dia 
membangun kerjasama dengan Portugis. Kerjasama ini dibangun oleh 
Surawisesa yang saat itu sudah merasa terancam oleh kesultanan Cerbon 
yang mendapat dukungan Kesultanan Demak. (Tome Pires). Portugis diberi 
keleluasaan oleh Sunda untuk beroperasi di Sunda Kelapa. Kekhawatiran 
Surawisesa terbukti, 1524 Cirebon dibantu Demak merebut Banten. 
Selanjutnya anak Sunan Gunung Jati yang bernama Maulana Hasanuddin 
diangkat sebagai Sultan Banten. Maulana Hasanuddin sendiri merupakan 
anak sunan dari istrinya yang bernama Nyai Kawunganten. Ia 
adalah anak dari Surasowan yang merupakan adik kandung dari Surawisesa. 

Tahun 
1527 Sunda Kalapa diserang Cirebon dengan tujuan untuk membalas 
serangan portugis atas Malaka (1511). Serangan dipimpin oleh 
Fatahillah/Tubagus Pasai yang merupakan veteran perang Malaka yang juga 
menantu Sunan Gunung Jati, dibantu Banten dan Demak. Serangan 
menyebabkan Sunda Kelapa jatuh ke Cirebon dan kemudian namanya di ubah 
menjadi Jayakarta. Sejak masa tersebut perselisihan antara Sunda dan 
para sultan (Cerbon+Banten) pun semakin membesar. 

Akhirnya pada 
11 Wesaka 1501 tahun Saka (8 Mei 1579) Kerajaan Sunda Pajajaran 
Akhirnya benar-benar runtuh. Kejadian ini pada masa Raja Sunda 
keturunan Jaya Dewata yang ke-5 yaitu Prabu Surya 
Kancana/Ragamulya/Nusyamulya (1567-1579). Sunda runtuh setelah beberapa 
kali diserang Kesultanan Banten dan Cirebon. Keruntuhan ditandai dengan 
dibawanya Watu Gigilang/Palangka Sriman Sriwacana batu tempat penobatan 
raja Sunda ke istana Surosowan Banten. Sejak itu tidak ditemukan lagi 
catatan mengenai keberadaan sang Prabu Surya Kancana. Di masyarakat 
Sunda peristiwa ini dikenal dengan peristiwa ”Ngahyang”. Sehingga 
sampai saat ini masih dipercayai sebagian besar masyarakat Sunda bahwa 
Prabu Siliwangi (yang terakhir) Ngahyang. 

Pada masa Kerajaan 
Pajajaran sedang dalam masa kehancurannya karena diserang oleh 
Kesultanan Banten yang dipimpin Sultan Maulana Yusuf anak Maulana 
Hasanuddin. Prabu Surya Kancana sebelum meninggalkan Pakuan, mengutus 
empat prajurit pilihan (Kandaga Lante) untuk pergi ke Kerajaan Sumedang 
Larang untuk mencari perlindungan. Kandaga Lante tersebut menyerahkan 
mahkota emas simbol kekuasaan Raja Pajajaran, kalung bersusun dua dan 
tiga, serta perhiasan lainnya seperti benten, siger, tampekan, dan 
kilat bahu (pusaka tersebut masih tersimpan di Museum Prabu Geusan Ulun 
di Sumedang). Dengan diberikannya pusaka tersebut kepada Prabu Geusan 
Ulun (1580-1608), maka dianggap bahwa Kerajaan Pajajaran telah 
menyerahkan kekuasaan kepada Kerajaan Sumedang Larang. 

Sementara 
itu, kesultanan Banten dikarenakan telah memiliki batu Gigilang serta 
merupakanketurunan langsung Jaya Dewata dari kakeknya (=Sunan Gunung 
Jati), Maulana Yusuf mengklaim sebagai pewaris sah atas tahta 
Pajajaran. Sehingga Banten pun bersitegang dengan Sumedang. Namun 
secara de facto, wilayah sisa kerajaan Sunda waktu itu tidak pernah 
berada dalam administrasi kekuasaan kesultanan Banten. 

Pada masa 
Surya Kancana sudah keluar dari Pakuan (Ngahyang), Istana Pakuan jatuh 
ke tangan pasukan koalisi Islam (Demak, Banten + Cirebon). Dalam 
perjanjian terakhir, Sunan Gunung Jati selaku tetua (keturunan dekat 
Siliwangi) meminta bagi para penghuni kota pakuan yang tidak mau 
beragama Islam untuk keluar. Hasil perjanjian ini mengakibatkan 40 
orang anggota pasukan elit kerajaan sunda keluar dan akhirnya bermukim 
di Cibeo dan konon menjadi Masyarakat Kanekes (=”Urang Baduy”). 
  

MASA SUMEDANG LARANG SAMPAI JATUH KE TANGAN BELANDA 

Pada 
saat pemerintahan Sumedang berada di tangan Prabu Geusan 
Ulun/Angkawijaya, Mataram (=Sultan Agung) sedang dalam masa 
kejayaannya. Sehingga demi kepentingan politik (terutama untuk 
menghadapi Banten) Sumedang menyatakan bergabung dengan Mataram. Pada 
masanya pula terjadi perselisihan yang menimbulkan peperangan dengan 
Cirebon. Peperangan ini berhasil didamaikan oleh Mataram. Hasil 
perdamaian menyebabkan Sumedang kehilangan wilayah Majalengka. Namun 
Geusan Ulun mendapatkan Ratu Harisbaya (puteri kerabat Mataram) yang 
menandakan kedekatan dengan Mataram serta kemerdekaan dari Cerbon 
(akibat kejatuhan Pajajaran). 

Penerus Geusan Ulun adalah anak 
tirinya dari Ratu Harisbaya yaitu Rangga Gempol Kusumah Dinata atau 
Raden Aria Suradiwangsa (1620-1624). Pada saat Rangga Gempol memegang 
kepemimpinan, Mataram semakin kuat. Pada tahun 1620 M Sumedang Larang 
tunduk kepada Kerajaan Mataram di bawah Sultan Agung, dan statusnya 
sebagai ‘kerajaan’ diubahnya menjadi ‘kadipaten’. 

Suatu saat 
Rangga Gempol diperintahkan oleh Sultan Agung untuk memimpin 
penyerangan ke Sampang, Madura. Namun sejak saat itu Rangga Gempol 
tidak pernah kembali ke Sumedang, konon ia selanjutnya diangkat menjadi 
orang dalam istana Mataram. Pemerintahan Sumedang kemudian diserahkan 
kepada adiknya, Dipati Rangga Gede. 

Dalam masa pemerintahannya 
Sumedang Larang diserang pasukan Kesultanan Banten. Karena Rangga 
Gede/Rangga Gempol II tidak mampu menahan serangan pasukan Banten, ia 
akhirnya melarikan diri. Kekalahan ini membuat marah Sultan Agung 
sehingga ia menangkap dan menghukum penjara Dipati Rangga Gede, dan 
pemerintahan selanjutnya diserahkan kepada Dipati Ukur. 

Sebagai 
tanda bakti, Dipati Ukur diperintahkan oleh Sultan Agung untuk 
bersama-sama pasukan Mataram yang dipimpin oleh Tumenggung Bahureksa 
untuk menyerang dan merebut pertahanan Belanda di Batavia (Jakarta). 
Serangan tersebut mengalami kegagalan (1628) dan Bahureksa pun tewas. 
Karena menolak untuk dihukum akibat kekalahan ini, Dipati Ukur 
memberontak terhadap kekuasaan Mataram. Namun pemberontakan ini dapat 
dipatahkan dan menyebabkan Dipati Ukur akhirnya dihukum oleh Sultan 
Agung (1632). 

Dengan dihukumnya Dipati Ukur, Pemerintahan 
dikembalikan kepada Rangga Gede. Saat itu wilayah Sunda telah 
kehilangan kekuasaan atas Cerbon dan Majalengka (Sultan Cerbon), Banten 
(Sultan Banten), Jakarta (VOC) dan Galuh (Mataram). Sehingga sisa 
wilayah Sunda yang masih dipimpin oleh pewaris tahta yang ”sah” tinggal 
empat kadipaten yaitu Sumedang, Sukapura (=Tasikmalaya), Parakan 
Muncang dan Tatar Ukur (=Bandung). Keempat kadipaten ini lebih dikenal 
dengan nama Priangan. Namun demikian sisa wilayah ini pun sebenarnya 
tunduk kepada Mataram. Adapun kadipaten lain yang langsung dibawah 
kontrol Mataram (Amangkurat I) adalah Karawang, Imbanagara, Kawasen, 
Wirabaja (Galuh), Sekacé (Sindangkasih), Banyumas, Ayah (Dayeuhluhur), 
jeung Banjar (Panjer). 

Pada saat kekuasaan Mataram mulai 
menurun, wilayah Priangan sisa kerajaan Sunda yang terakhir diserahkan 
oleh Mataram kepada Belanda (1677). Dan tahun 1705 Belanda juga 
berhasil menguasai Cerbon dan Priangan Timur (Galuh) melalui perjanjian 
dengan Mataram. Sehingga wilayah Sunda kecuali Banten telah berada 
dalam kontrol Belanda. Disusul tahun 1808 Istana Surosowan Banten jatuh 
ke tangan Raffless/Belanda (saat itu dibawah Inggris). Tahun 1813 
Banten sepenuhnya dikuasai Belanda. Sehingga sejak saat itu, secara 
otomatis wilayah kerajaan Sunda telah sepenuhnya dikuasai Belanda. 

Sumber dari : Firman Raharja - 090108 

1 komentar:

  1. Kepada Yth,
    PT. PERUSAHAAN DI TEMPAT
    Up :Pimpinan/Bag, Keuangan
    Hp : 0813 1886 0893
    Perihal : Penawaran Penerbitan Bank Garansi & Asuransi,
    (Tanpa Agunan,Non Collateral)
    Bersama ini Kami ingin memperkenalkan diri, bahwa
    PT.GLOBAL PERSADA INDONUSA,
    adalah Perusahaan yang bergerak dibidang Jasa-
    Penerbitan Jaminan Bank Garansi & Surety Bond Tanpa Agunan atau Non Collateral,
    Proses Cepat,Bisa dicek Keabsahanya dan Polis Di Jamin kami antar.


    Jenis jaminan yang kami terbitkan yaitu sbb:
    1.Jaminan Penawaran ( Bid Bond )
    2.Jaminan Pelaksanaan ( Peformance Bond )
    3.Jaminan Uang Muka ( Advance Payment Bond )
    4.Jaminan Pemeliharaan ( Maintenance Bond )
    5.Jaminan pembayaran
    6.Penerbitan Surat Perintah Pencairan Dana (SP2D)
    7.Jaminan Dll,

    Jasa Asuransi Yang Kami Tawarkan Diantaranya
    * Contracto's All Risk (CAR)
    * Conprenshive General Liability (CGL)
    * Workman Compesation Liability (WCL)
    * Property All Risk (PAR)
    * Automobile Liability (AL)
    * Marine Hull (MH)
    * Erection All Risk (EAR)

    Demikianlah penawaran ini kami sampaikan, semoga ini merupakan awal kerjasama yang baik dan-
    berkesinambungan dimasa yang akan saya ucapkan terimakasih...



    From :
    From : MAIZAR SAPUTRA
    Contac : 0813 1886 0893
    E-Mail : maizar.globalpindo@gmail.com

    PT.GLOBAL PERSADA INDONUSA.
    0ffice:Utan Kayu Utara JL.Nangka No.20 Utan Kayu-
    Kec. Matraman- Jakarta Timur.
    Tlp: 021-2962 1873,( Hunting ) Fax : 021-2962 1878

Posting Komentar